Anda dapat melihat aturan dan peraturan di yurisdiksi lain.
Perusahaan yang menyediakan jasa pembayaran wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. BI Reg 22 membagi penyelenggara sistem pembayaran menjadi penyelenggara jasa pembayaran dan penyelenggara infrastruktur sistem pembayaran. Penyelenggara sistem pembayaran adalah bank atau lembaga non perbankan yang menyediakan jasa untuk memudahkan transaksi pembayaran bagi pengguna jasa. Mereka dapat melakukan kegiatan sebagai berikut: (1) memberikan informasi tentang sumber pendanaan; (2) inisiasi pembayaran atau perolehan layanan; (3) mengelola sumber dana; dan (4) layanan pengiriman uang. Penyelenggara infrastruktur sistem pembayaran dalam Peraturan BI 22 diartikan sebagai pihak yang menyediakan infrastruktur yang dapat digunakan untuk melakukan transfer dana atas nama pesertanya. Penyelenggara infrastruktur sistem pembayaran dapat menyelenggarakan jasa kliring atau penyelesaian akhir untuk kepentingan peserta. Persyaratan perizinan secara rinci diatur dalam PBI 23/6 untuk penyelenggara jasa pembayaran dan PBI 23/7 untuk penyelenggara infrastruktur sistem pembayaran.1
BI Reg 22, BI Reg 23/6 dan BI Reg 23/7 kini membatasi kepemilikan asing pada penyelenggara sistem pembayaran. Pembatasan ini sebelumnya terbatas pada penerbit uang elektronik, prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara kliring dan penyelenggara penyelesaian akhir. Penyedia jasa pembayaran non-bank harus memiliki sekurang-kurangnya 15 persen dari total saham, dengan sekurang-kurangnya 51 persen dari saham voting tersebut dipegang oleh partai atau partai domestik. Penyelenggara infrastruktur sistem pembayaran harus memiliki sekurang-kurangnya 80 persen dari total saham dan saham voting yang dimiliki partai atau partai lokal. Pembatasan kepemilikan asing tersebut dibebaskan bagi penyelenggara jasa pembayaran dan penyelenggara infrastruktur sistem pembayaran yang sudah ada (yaitu pemegang izin Bank Indonesia sampai berlakunya peraturan Bank Indonesia yang baru). Namun, penyelenggara jasa pembayaran dan penyelenggara infrastruktur sistem pembayaran yang ada saat ini harus menyesuaikan kepemilikan asingnya jika terjadi perubahan kepemilikan saham di kemudian hari.1
BI Reg 23/6 dan BI Reg 23/7 juga menaikkan persyaratan modal minimum bagi entitas baru yang mengajukan izin penyelenggara jasa pembayaran atau penyelenggara infrastruktur sistem pembayaran. Persyaratan modal minimum untuk penyedia layanan pembayaran bervariasi berdasarkan kategori lisensi. Lisensi kategori 1, yang meliputi layanan informasi akun, inisiasi pembayaran, layanan perolehan, layanan pembukaan akun, dan layanan transfer uang, memiliki modal disetor awal minimum sebesar Rs 15 miliar. Modal disetor awal minimum untuk lisensi kategori 2 yang meliputi layanan informasi rekening dan inisiasi pembayaran dan memperoleh layanan adalah Rs 5 miliar, dan lisensi kategori 3 yang mencakup layanan pengiriman uang dan kegiatan lain yang ditentukan oleh Bank Indonesia memiliki setoran awal minimum jumlah. modal sebesar Rs 500 juta untuk pemegang lisensi yang tidak menyediakan sistem yang dapat digunakan oleh penyedia jasa pembayaran lain dan Rs 1 miliar untuk pemegang lisensi yang menyediakan sistem yang dapat digunakan oleh penyedia jasa pembayaran lainnya. Meski demikian, semua perusahaan penanaman modal asing tetap diwajibkan memiliki modal disetor awal minimal Rp 10 miliar.1
Untuk penyelenggara infrastruktur sistem pembayaran, modal disetor awal minimal Rp 100 miliar.1
Selain itu, BI Reg 22 bersama dengan BI Reg 23/6 dan BI Reg 23/7 memperkenalkan konsep modal saat ini. Modal saat ini harus diisi kembali oleh penyelenggara sistem pembayaran selama mereka melakukan kegiatan sistem pembayaran. Perhitungan modal saat ini berbeda antara satu pemasok dengan pemasok lainnya dan tidak diatur secara khusus dalam peraturan Bank Indonesia. Penyelenggara sistem pembayaran diharapkan melakukan self assessment untuk menghitung modal saat ini, namun Bank Indonesia yang akan menentukan akhir kebutuhan modal saat ini untuk penyelenggara sistem pembayaran tertentu.1
Peraturan Menkominfo No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Swasta tanggal 24 November 2020, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menkominfo No. 10 Tahun 2021 tanggal 21 Mei 2021 (Menkominfo Reg 5), mewajibkan penyedia sistem elektronik swasta (ESP) menyediakan akses ke sistem elektronik atau data elektroniknya kepada (1) lembaga yang berwenang untuk pengawasan dan (2) aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum, khususnya penyidikan, penuntutan, dan peradilan pidana yang dilakukan di Indonesia. ESP privat didefinisikan dalam MOCI Reg 5 sebagai individu, entitas, atau anggota masyarakat yang mengoperasikan sistem elektronik. Sistem elektronik lebih lanjut didefinisikan di dalamnya sebagai seperangkat perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi untuk menyiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, atau mendistribusikan informasi elektronik. Dengan demikian, ESP swasta diwajibkan untuk memberikan data pelanggan atau produk elektronik mereka kepada pihak berwenang sebagai pihak ketiga yang relevan.1
Menyusul penerbitan BI Reg 22 di penghujung tahun 2020, Bank Indonesia menerbitkan dua aturan pelaksanaan yang berlaku efektif sejak 1 Juli 2021, yakni BI Reg 23/6 dan BI Reg 23/7. Penyelenggara sistem pembayaran yang sudah ada sedang melakukan konversi izin berdasarkan rezim sistem pembayaran yang baru sesuai dengan aturan ini.1